::: tunjukilah kami jalan yg lurus [QS 1:6] :::

Cintaku Hilang Bersama Angin Yang Lalu Lalang,

wuis. mantap g tuh judul postingan?? udah kayak puisi aja ni judul. hihi. Biarin lah, sekali-kali. biar cewek-cewek pada klepek-klepek. ikan kali, klepek-klepek. hihi,

tapi cinta yang akan dibahas kali ini, bukan cinta yang sering kita lihat di tipi-tipi kayak Farel dan Fitri dalam cinta fitri (udah season berapa tu) ato kayak amira sama rizky di putri yang tertukar? (ketuan tontonanya sinetron deh nih), melainkan cinta yang umum, cinta kepada sesama, atau sering didengungkan dengan istilah cinta kasih atau kasih sayang. Apapun lah namanya, yang penting cinta yang itu, bukan yang ini (Apa sih . . .),

Beberapa saat yang lalu, dan mungkin udah lama kali ya kita mendengar masalah cekcok atau konflik antar warga masyarakat. Mulai dari masalah yang sepele, kayak saling ejek, hingga masalah yang super gedhe, kayak perebutan kekuasaan dan penistaan agama.

Udah banyak pula orang-orang pinter yang mempelajari masalah ini, mulai dari penyebab, hingga siapa yang kudu bertanggung jawab atas peristiwa-peristiwa seperti ini. Ada yang bilang polisi yang harus bertanggung jawab, karena tugasnya adalah menjaga ketertiban masyarakat, ada yang bilang pemuka agama sebagai pengontrol perilaku masyarakat dari segi keagamaan, hingga Presiden sebagai pemimpin negara yang memang bertanggung jawab terhadap nasib rakyat yang dipimpinnya. Okelah, saya rasa itu semua bener. Tugas polisi memang menjaga kertertiban masyarakat, tokoh agama memang seharusnya mengajarkan kebaikan kepada umatnya, tapi mereka kan juga manusia. Misal ni ya, kalau ada 1000 orang terlibat konflik dan cuma ada 100 polisi, apa iya, polisi sanggup meredam konflik itu? Mungkin bisa mungkin tidak (tapi kebanyakan tidak nya deh. Soalnya kan dalam bertindak polisi juga punya batasan),

Lalu pertanyaanya, kalau tidak mereka, lantas siapa yang bertanggung jawab? saya rasa saat ini hati lah yang berbicara. Berbicara tentang cinta, berbicara tentang kasih.

Setiap manusia pada hakikatnya cenderung berbuat baik. Kecuali ada godaan-godaan untuk berbuat buruk (ya iya lah), itu lain lagi. Tapi pada kenyataanya, manusia cenderung kepada kabaikan. Hal ini dikarenakan manusia memiliki cinta dan kasih sebagai software default yang terinstall di hati. Sebagai contoh, ketika melihat seorang bayi sendirian, seseorang akan memiliki 3 option :
1. Menemaninya, karena takut terjadi apa-apa dengan si bayi,
2. Membiarkan saja,
3. Berbuat jahat dengan si bayi,
Kira-kira opsi mana yang akan dipilih? sebagai manusia normal, saya rasa antara opsi 1 dan 2. nah, itu sudah membuktikan kalau manusia tidak cenderung kepada keburukan. Tinggal dua opsi, opsi 1 atau opsi 2. Kembali ke si bayi. lalu tiba-tiba ada anjing mendekati si bayi. kira-kira apa yang akan dilakukan? saya kira, jika si orang masih normal hatinya, opsi 1 akan diambil, yaitu menemani si bayi, karena takut terjadi apa-apa dengan si bayi. pertanyaanya, lalu apa yang mendorong si orang ini untuk menemani si bayi? saya kira jawabannya adalah rasa cinta, sayang, kasih, atau apa lah sebutannya. Dari sini terbukti, bahwa manusia diciptakan cenderung kepada kebaikan. Kenapa? karena manusia punya cinta dan kasih.

Lalu kenapa masih terus saja terjadi konflik?? Apakah cinta sudah tak lagi berbicara??(weis. bahasanya mang . . .). Mungkin jawabannya iya. Karena cinta itu bisa dipengaruhi oleh hal-hal lain di sekitar kita. Misalnya sesuatu yang mengancam diri kita, lingkungan, doktrin-doktrin, suara-suara yang memprovokasi, dll. Seperti misalnya si bayi tadi. ketika kita sudah ingin menolong si bayi, tiba-tiba muncul pikiran kalo si anjing akan berubah menjadi monster yang menakutkan, dengan empat tangan, dan tiga mata yang menyala, lengkap dengan taring-taring yang tajam. maka wajar bila kita urungkan niat untuk menemani si bayi, karena jika kita mendekat, diri kita juga akan terancam. Atau pas kita mendekat, tiba-tiba si anjing tadi bisa berbicara, 'jangan mendekat!! si bayi ini sebenarnya adalah intel (ekspresi kayak si sule di OVJ) yang telah lama mengincar dan ingin memenjarakan Anda!'. Maka dengan provokasi seperti ini, wajar bila kita urungkan niat kita untuk menemani si bayi.

Jadi? Apakah cinta memang sudah tidak berarti apa-apa? Kalau kualitas cinta kita seperti orang ini tadi, jawabannya iya, cinta tak berarti lagi. Tapi beda ceritanya, jika kualitas cinta kita lebih bagus. Kita akan tetap menolong si bayi kecil itu, karena kita percaya pada hati kita bahwa si anjing tadi tidak mungkin menjadi monster, atau kita percaya pada bayi itu, bahwa si bayi bukanlah intel yang sedang menyamar menjadi bayi. oke, kita sudah mendapat poin nya. jadi berbicara tentang cinta, adalah berbicara tentang kepercayaan. Masyarakat akan tertib jika percaya pada polisi yang bertugas menjaga ketertiban. Jika kita sudah tak percaya kepada polisi, akibatnya ya seperti sekarang ini, masyarakat lebih senang main hakim sendiri, daripada melapor ke polisi. Begitu juga dengan konflik. konflik tidak akan terjadi, jika kita percaya bahwa kita hidup butuh orang lain, butuh kelompok lain. Buruh tidak akan demo, jika mereka percaya atasan mereka akan menggaji dan memperlakukannya nya dengan baik. sebaliknya, atasan tidak perlu marah-marah, jika percaya bahwa bawahannya akan bekerja dengan baik. Kelompok A tidak akan menyerang Kelompok B, jika Kelompok A percaya bahwa Kelompok B adalah partner mereka dalam bermasyarakat yang saling melengkapi, begitupun sebaliknya. Jika kualitas cinta kita seperti itu, percayalah, tidak akan ada lagi konflik2 itu, g perlu menyalahkan polisi, tokoh agama, presiden, atau siapapun, karena kita saling percaya. Dan akhirnya, benarlah yang dinyanyikan Lyla dalam lagunya 'Jika kau percayakan hatimu padaku, aku akan selalu menjagamu . . .'

No comments:

Post a Comment