beberapa saat yang lalu saya melihat tayangan 'Jika Aku menjadi' yang ditayangkan di Trans TV. Saya memang sering melihat acara tersebut, dan setiap melihat tayangan tersebut pasti saya menangis. Rasanya miris sekali, bagaimana di luar sana banyak orang yang tidak berkecukupan menghadapi hidup. Hari itu adalah episode dimana seorang mahasiswi mencoba menjalani hidup dengan sepasang suami istri tua di Yogyakarta. Sang suami adalah seoarang kakek yang sudah tidak kuat bekerja berat lagi, karena selain umur yang sudah 90 tahun, si kakek juga menderita satu penyakit. Sementara si istri adalah seorang nenek yang usianya sekitar 80an yang harus bekerja keras apapun itu, demi mencari sesuap nasi untuknya, sang kakek, dan tambahan satu balita yang ditinggal ibunya, sementara ayahnya telah meninggal. Sebelum ayah dari balita ini meninggal, dia lah tulang punggung keluarga. Namun semenjak kematian anak dari kakek-nenek ini, beban hidup pun menjadi tanggungan si emak. Sementara anak-anak yang lain, entah pergi kemana, dan tak pernah sekalipun pulang menjenguk kedua orang tuanya yang telah renta ini. setiap hari si nenek bekerja sebagai pemarut kelapa yang dihargai 25ribu rupiah untuk 25 kg kelapa. Dan jika ada permintaan, si nenek juga bisa menjadi kuli isi kasur, yang tugasnya memasukkan kapas ke dalam kasur, dengan upah yang tak lebih baik dari memarut kelapa. Belum lagi bagaimana sedihnya si nenek, ketika tak bisa membelikan susu untuk si bayi, dan kadang-kadang hanya diberi air putih ditambah gula, atau tajin (air beras). Kesedihan lebih terpancar lagi ketika si mahasiswi yang menginap di rumah pasangan kakek-nenek ini harus pulang. Bagaimana si nenek sangat berharap bahwa si mahasiswi bisa tinggal menemani si nenek lebih lama, karena tak ada satu pun anaknya yang sudi menengoknya, apalagi merawat mereka di kala senja. Dan saya pun menangis saat itu.
ketika tayangan ini selesei, saya pindah channel ke stasiun TV yang setiap hari menayangkan berita politik, penguasa, dan politik negara ini yang sangat sangat amburadul. mereka bicara tentang kemiskinan seolah-olah mereka prihatin, mereka bicara tentang jaminan sosial dan kesehatan, padahal setiap orang menyerahkan kartu jamkesmas langsung ditolak dari rumah sakit. Apa mereka tahu itu? Mereka bilang, akan menindak setiap rumah sakit yang menolak jamkesmas, mereka bilang akan mengentaskan kemiskinan, mereka bilang bla bla bla. Tapi saya yakin, mereka tak pernah langsung turun ke masyarakat melihat keadaan yang sebenarnya.
Melihat kedua fenomena ini, saya tergelitik untuk membuka UUD 1945. rasa-rasanya dulu waktu SD-SMP saya pernah membaca satu pasal yang menjamin kehidupan para fakir miskin. Dan setelah mencari kesana kemari, akhirnya ketemu juga, Pasal 34 UUD 1945. Dan beginilah bunyinya :
Pasal 34
(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
dalam pasal ini jelas tertulis bahwa Fakir Miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Nyatanya?? Masih ada tu nenek miskin yang harus menanggung dirinya, suaminya, dan seorang balita. Lalu, dimana negara??? Apa para penyelenggara itu tidak malu ketika mereka digaji 40jt lebih + fasilitas yang wah + mobil dan rumah dinas + tunjangan-tunjangan + lain-lain, sementara yang menggaji mereka adalah si nenek yang tetap diwajibkan membayar pajak, padahal untuk hidup saja susah. dimana letak tanggung jawab mereka??
sebagai penutup tulisan ini, saya akan mengambil cuplikan cerita bagaimana Sayyidina Umar memimpin Islam di masanya. Pada suatu hari, sayyidina Umar bin Khattab ingin mengetahui apakah rakyatnya sudah benar-benar hidup layak atau belum. Hingga sampailah Umar ke rumah seorang janda dengan beberapa orang anak. Si anak terus saja menangis karena kelaparan. Sementara si ibu, terus menerus bilang kalau nasi sedang dimasak. Penasaran, Umar pun bertanya kepada si janda. 'wahai ibu, kenapa si fulan menangis terus?'. jawab si ibu, 'dia kelaparan'. 'kenapa tak kau beri makan?'. lalu si janda membuka tutup kuali yang dimasak si ibu, dan Umar pun kaget bukan main, ketika didapatkannya yang dimasak si janda adalah sebuah batu. 'Apakah kau memasak batu wahai Ibu?', tanya Umar terkaget-kaget. si ibu hanya mengangguk. 'Kenapa??', tanya Umar lagi. lalu si janda pun menjawab,
'Aku memasak batu-btu ini untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan Khalifah Umar bin Khattab. Ia tidak mau melihat ke bawah, apakah kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi belum. Lihatlah aku.Aku seorang janda. Sejak dari pagi tadi, aku dan anakku belum makan apa-apa. Jadi anakku pun kusuruh berpuasa, dengan harapan ketika waktu berbuka kami mendapat rejeki. Namun ternyata tidak. Sesudah magrib tiba, makanan belum ada juga. Anakku terpaksa tidur dengan perut yang kosong. Aku mengumpulkan batu-batu kecil, memasukkannya ke dalam panci dan kuisi air. Lalu batu-batu itu kumasak untuk membohongi anakku, dengan harapan ia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Mungkin karena lapar, sebentar-sebentar ia bangun dan menangis minta makan'. Ibu itu diam sejenak. Kemudian ia melanjutkan, “Namun apa dayaku? Sungguh Umar bin Khattab tidak pantas jadi pemimpin. Ia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya.” Mendengar penuturan itu, Umar bin Khattab segera pulang ke kerajaan sambil berlinangan air mata. Saat itu pula, ia ambil karung makanan di gudang kerajaan, dan memikul sendiri karung itu untuk diberikan kepada si Janda.
ketika tayangan ini selesei, saya pindah channel ke stasiun TV yang setiap hari menayangkan berita politik, penguasa, dan politik negara ini yang sangat sangat amburadul. mereka bicara tentang kemiskinan seolah-olah mereka prihatin, mereka bicara tentang jaminan sosial dan kesehatan, padahal setiap orang menyerahkan kartu jamkesmas langsung ditolak dari rumah sakit. Apa mereka tahu itu? Mereka bilang, akan menindak setiap rumah sakit yang menolak jamkesmas, mereka bilang akan mengentaskan kemiskinan, mereka bilang bla bla bla. Tapi saya yakin, mereka tak pernah langsung turun ke masyarakat melihat keadaan yang sebenarnya.
Melihat kedua fenomena ini, saya tergelitik untuk membuka UUD 1945. rasa-rasanya dulu waktu SD-SMP saya pernah membaca satu pasal yang menjamin kehidupan para fakir miskin. Dan setelah mencari kesana kemari, akhirnya ketemu juga, Pasal 34 UUD 1945. Dan beginilah bunyinya :
Pasal 34
(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
dalam pasal ini jelas tertulis bahwa Fakir Miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Nyatanya?? Masih ada tu nenek miskin yang harus menanggung dirinya, suaminya, dan seorang balita. Lalu, dimana negara??? Apa para penyelenggara itu tidak malu ketika mereka digaji 40jt lebih + fasilitas yang wah + mobil dan rumah dinas + tunjangan-tunjangan + lain-lain, sementara yang menggaji mereka adalah si nenek yang tetap diwajibkan membayar pajak, padahal untuk hidup saja susah. dimana letak tanggung jawab mereka??
sebagai penutup tulisan ini, saya akan mengambil cuplikan cerita bagaimana Sayyidina Umar memimpin Islam di masanya. Pada suatu hari, sayyidina Umar bin Khattab ingin mengetahui apakah rakyatnya sudah benar-benar hidup layak atau belum. Hingga sampailah Umar ke rumah seorang janda dengan beberapa orang anak. Si anak terus saja menangis karena kelaparan. Sementara si ibu, terus menerus bilang kalau nasi sedang dimasak. Penasaran, Umar pun bertanya kepada si janda. 'wahai ibu, kenapa si fulan menangis terus?'. jawab si ibu, 'dia kelaparan'. 'kenapa tak kau beri makan?'. lalu si janda membuka tutup kuali yang dimasak si ibu, dan Umar pun kaget bukan main, ketika didapatkannya yang dimasak si janda adalah sebuah batu. 'Apakah kau memasak batu wahai Ibu?', tanya Umar terkaget-kaget. si ibu hanya mengangguk. 'Kenapa??', tanya Umar lagi. lalu si janda pun menjawab,
'Aku memasak batu-btu ini untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan Khalifah Umar bin Khattab. Ia tidak mau melihat ke bawah, apakah kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi belum. Lihatlah aku.Aku seorang janda. Sejak dari pagi tadi, aku dan anakku belum makan apa-apa. Jadi anakku pun kusuruh berpuasa, dengan harapan ketika waktu berbuka kami mendapat rejeki. Namun ternyata tidak. Sesudah magrib tiba, makanan belum ada juga. Anakku terpaksa tidur dengan perut yang kosong. Aku mengumpulkan batu-batu kecil, memasukkannya ke dalam panci dan kuisi air. Lalu batu-batu itu kumasak untuk membohongi anakku, dengan harapan ia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Mungkin karena lapar, sebentar-sebentar ia bangun dan menangis minta makan'. Ibu itu diam sejenak. Kemudian ia melanjutkan, “Namun apa dayaku? Sungguh Umar bin Khattab tidak pantas jadi pemimpin. Ia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya.” Mendengar penuturan itu, Umar bin Khattab segera pulang ke kerajaan sambil berlinangan air mata. Saat itu pula, ia ambil karung makanan di gudang kerajaan, dan memikul sendiri karung itu untuk diberikan kepada si Janda.
No comments:
Post a Comment