::: tunjukilah kami jalan yg lurus [QS 1:6] :::

Late Post - Cerita Perjalanan #go(w)esToBali

    Entah kenapa belakangan ini banyak temen yang nanya tentang #go(w)esToBali. Ah, it take me back to the adventure i ever have. Gw pribadi sebenernya emang udah punya niat buat nulis perjalanan #go(w)esToBali, tapi setiap kali gw mulai nulis, selalu terhalang satu hal : mau ditulis dalam satu post apa beberapa post? Kalo ditulis dalam satu post, gw ga yakin bakal seberapa panjang itu post, secara every little detail is just a wonderfull story. Dan kalau gw buat beberapa post, takut jadi ga menarik. Bukannya ga pernah mencoba, gw udah beberapa kali mencoba, tapi kemudian gw berhenti nulis karena ga puas dengan apa yang gw tulis. Terlalu banyak #mikir. Haha. But, it's oke, i'll try once more to tell my story in this post (just one post). Semoga tidak mengurangi esensi dan tetap menarik untuk dibaca.

    Well, perjalanan dimulai dari sebuah kegalauan. Gimana engga coba, dari rencana #go(w)esToBali bertiga bareng temen-temen sepedaan gw, pada akhirnya, H-1, satu temen gw mengundurkan diri karena ada panggilan kerja. Dan 10 jam sebelum start, ketika gw udah packing segala macem, satu temen gw bilang kalo dia juga ga bisa ikutan, karena ada tugas negara yang harus diselesaikan. Bagaimana menurut Anda? Pantaskah saya galau? Di saat gw bimbang kayak gitu, gw memutuskan untuk tidur, dan kita lihat besok pas bangun tidur, apakah gw tetep akan ambil sepeda and take the chance, ato tetep ngegelingsek di kasur. Intinya, sampe gw tidur, 7 jam sebelum gw berangkat, jam 10 malem, gw masih belum punya keputusan.

    Subuh gw bangun, dan setelah sholat subuh, gw udah mantep. Ya, gw bakal berangkat. Tahun lalu gw berangkat ke Surabaya juga sendirian, dan Bali hanya 400km lebih jauh, i think i can do it. And yup, the story begin. Keputusan yang tidak akan pernah gw sesali seumur hidup gw. Haha.

    Perjalanan hari pertama dan kedua, dari Jakarta-Cirebon-Semarang tak banyak halangan dan rintangan. Gw udah tiga kali gowes melewati rute ini dan udah apal karakter jalan, spot menarik, spot yang 'tidak' menarik, dimana gw kudu istirahat, dimana gw kudu nambah kecepatan, etc. Jalan Patok Besi antara Cikampek-Pamanukan tetep jadi nerakanya Jawa Barat, panas dan tiada ujung. Sementara rute neraka di Jawa Tengah, Tegal - Pemalang - Pekalongan nampaknya berbaik hati, karena pas gw lewat situ dikasih hujan. Ada dua hal menarik di Jawa Tengah. Pertama, aspal Kota Pekalongan yang tahun lalu gw nobatin sebagai aspal terbaik selama #go(w)esToSby, tahun ini tidak lagi. Aspal yang dulunya licin, sekarang udah mule jerawatan dan didempul sana-sini. Sementara rute alas roban yang sebelumnya sangat gw antisipasi, karena rutenya yang ajib. Naik-turun dan tahun kemarin aspalnya bocor, tahun ini naik kelas. Aspalnya mulus, sampe-sampe pas keluar alas roban dan nyampe Kendal, gw agak sedikit nyesel kenapa tadi gw cepet-cepet. Hihi.


    Hari ketiga, Semarang-Tuban, menghadirkan beberapa cerita menarik. Tahun lalu, ketika melewati Demak, Pati, dan Kudus gw selalu lewat rute lingkar luar. Artinya gw ga masuk kotanya. Dan disitulah penyesalan terjadi, karena yang gw lihat cuman jalan dan sawah. Gw ga lihat kotanya, orang-orangnya, keramaiannya, dan hal menarik lain yang mungkin gw lewatkan. Maka berbekal penyesalan itu, tahun ini 100% gw ambil rute dalam kotanya. Dan well, keputusan itu benar. Gw bisa mampir di Masjid Agung Demak, muter-muter di alun-alun Kota Pati, dan hunting Soto Kudus di rumahnya sendiri, Kudus. Sementara rute Rembang-Lasem-Tuban, tak jauh berbeda. Lasem tetap menjadi kota misteri bagi gw, karena karakter orangnya, logat ngomongnya, even joke-joke khas daerahnya mirip dengan yang ada di kampung gw, Purwodadi. I don't know why, padahal jarak Purwodadi-Lasem lumayan jauh, dan terpisahkan beberapa kabupaten. Sementara Tuban menghadirkan kejutan yang sangat menyenangkan. Jalanan di daerah Jenu yang tahun lalu rusak parah+banyaknya bus dan tronton, sama sekali berbeda di tahun ini. Itu jalan bahkan mungkin adalah yang terbaik sampe hari ketiga ini.



   Setelah menghabiskan malam di Tuban (gw sempet main-main ke pasar malem di alun-alun Kota Tuban, makan pecel dan do some 'jepret-jepret'), gw bersiap melanjutkan perjalanan hari keempat, Tuban-Probolinggo. Pemandangan laut Tuban di pagi hari sangat menggoda dan membuat gw berat untuk meningalkan Kota Cantik ini. But, gw ga bisa berhenti karena masih ada ratusan kilometer yang menanti untuk dijelajahi. Perjalanan Tuban-Lamongan sangat menyenangkan, tapi ketika masuk kabupaten Gresik sangat menyeramkan. Ya, jalanan Gresik adalah perpaduan antara tanjakan dan turunan + jalan rusak dan bergelombang + ga ada warung. Gw bener-bener harus hemat minum, karena diluar dugaan gw jarang banget yang jualan.  Harapan akan 'jalanan yang lebih baik' muncul ketika gw memasuki gerbang Kota Gresik, tapi ternyata Kota Gresik tak lebih baik dari Kabupaten Gresik. Kota Gresik yang Kota Industri adalah gabungan dari polusi+panas+truk+jalanan rusak/bergelombang. Pokoknya yang ada di pikiran gw ketika ada di Kota Gresik adalah cepet-cepet keluar dari kota ini dan segera masuk Surabaya. Tapi kemudian yang terjadi ketika gw masuk Surabaya adalah, gw pengen cepet-cepet keluar Surabaya dan segera masuk Sidoarjo. Ya, Surabaya tak lebih baik dari Kota Gresik. Jalanan mulus cuma ada di pusat kota, itupun masih dinodai dengan macet dan polusi. Sementara di pinggiran kotanya amburadul. Gw yang awalnya mau foto di Tugu Pahlawan, harus mengurungkan niat karena males berususan dengan jalanan yang tidak bersahabat, bahkan saking malesnya, jadwal istirahat dan makan siang yang harusnya gw lakukan di Surabaya, terpaksa gw cancel.

    Melewati Sidoarjo, berarti melewati penderitaan warga Porong. Gw udah beberapa kali berkesempatan melewati kawasan luapan lumpur Sidoarjo, tapi tetap saja gw masih belum terbiasa. Tetap saja, membayangkan daerah seluas itu, yang harusnya penuh dengan cengkrama sosial, anak-anak yang pada berlarian, emak-emak yang ngegosip di pasar, atau sekedar bapak-bapak yang menghabiskan waktu sorenya dengan minum kopi di teras rumah, harus terkubur oleh lumpur. Sidoarjo tell me the story. Memasuki Pasuruan, gw dan channel (nama sepeda gw) disambut hujan. Satu hal yang berkesan dari Pasuruan adalah aspalnya moncer. Ini aspal terbaik yang gw lewatin sejauh ini. Bahkan dari masuk sampe keluar Pasuruan gw ga berhenti, atau bahkan ga mengurangi kecepatan sama sekali. Jalannya terlalu dewa. Menjelang isya, gw mulai masuk Probolinggo. Satu hal yang ga gw antisipasi adalah, pinggiran Probolinggo adalah hutan. Meskipun ga hutan-hutan banget, karena masih ada satu dua rumah penduduk. Perjalanan agak horor, apalagi selama melewati hutan itu, beberapa kali gw ketemu anjing dengan tatapan yang seakan bilang 'apa lo liat-liat, gw gigit juga lo!'. Dan di saat seperti itu, cuma satu hal yang bisa gw lakuin, ngebut. Well, gw mengakhiri perjalanan hari keempat dengan menginap di salah satu hotel dengan fasilitas lengkap, ac+tv+air panas dengan harga 100rb. Sangat bersahabat buat badan yang capek dan dompet yang bokek.

    Perjalanan hari kelima, Probolinggo-Banyuwangi diawali dengan jalanan yang bikin dongkol. Bayangin, dari pusat kota sampe mau keluar kota, jalanan sebelah kiri, yang gw lewatin ancur parah, sementara yang sebelah kanan semulus Sandra Dewi. Gimana ga bikin dongkol, sementara yang di sebalah kanan bisa ngebut dengan nyaman, gw kudu ekstra hati-hati kalo ga mau Channel terluka. Sungguh kejam. Untungnya Situbondo tak sejahat Probolinggo. Kalo sebelumnya gw bilang perjalanan pinggir pantai Tuban adalah yang terbaik, maka ketika sampe di Situbondo, Tuban jadi nomor dua. Di sebelah kiri ada pantai dengan pasir-pasirnya yang halus, kawasan bakau, kapal-kapal nelayan, dan orang-orang pacaran (sial). Sementara di sebelah kanan kadang sawah, kadang bukit, kadang hutan, atau kadang juga kuburan. Pokoknya variatif dan sangat menarik. Lebih menarik lagi ketika gw nyampe di Kawasan Taman Nasional Baluran. Well, gw mulai masuk Baluran sekitar jam 4 sore. Awalnya exited, akhirnya amit-amit. Exited karena sepanjang jalan gw bisa lihat sapi, domba, beberapa kali rusa, pada malang melintang ga hanya di hutannya, tapi juga di tengah jalan. Ga jarang kendaraan yang lewat kudu berhenti dulu karena ada sapi yang mau lewat. Tak terkecuali gw. Gw bahkan sempet ngeri diseruduk, pas ngelewatin kawanan sapi. Petualangan bertambah seru ketika jalannya terus nanjak. Terus, terus,  dan terus sampai akhirnya gw teriak 'ini kapan sampai puncaknya???!!'. Dengkul gw udah mule kelelahan, bekal minum udah mau kalap, sementara hari udah mule gelap. Jangan berpikir ada alfamart, kita lagi di tengah hutan. Jangankan alfamart, rumah aja ga ada. Jangankan rumah, orang lewat aja ga ada. Gw bahkan bisa ngambil jalan kanan-kiri-tengah seenaknya, karena emang ga ada satupun kendaraan yang lewat. Pas ada yang lewat, ternyata anjing hutan, atau babi hutan, atau apalah, yang jelas setelah itu yang ada di pikiran gw cuman cepet keluar dari hutan ini. Alhamdulillah, tepat setelah maghrib gw berhasil keluar hutan. Ini adalah pengalaman paling keren sekaligus thrilling selama perjalanan ini. Sejam setelah keluar hutan Baluran, gw udah nyampe di Ketapang, menanti mimpi yang esok akan gw miliki, Bali.

    Subuh gw udah ada di Pelabuhan Ketapang untuk nyebrang ke Gilimanuk. You know what i feel? It's more than wisuda, atau ketika gw pertama kali terima gaji, atau ketika gw menang berbagai lomba di masa lalu atau ketika gw punya pacar berapa abad yang lalu, it's more than anything. Bahkan ketika di kapal, dan kebetulan saat itu ujan, gw tetep duduk di luar, basah-basahan keujanan, cuma demi ga mau melewatkan setiap jengkal menuju Bali. Dan ketika kita nyampe di Bali, hal pertama yang gw lakukan adalah nyari tempat yang pas di pelabuhan, berhenti bersepeda, taro tas di samping sepeda, dan meluk sepeda gw, Channel Jr. We did it boy.


    Km 0-30 di Bali menyenangkan, selanjutnya melelahkan. Jujur aja, ini adalah pertama kalinya gw ke Bali, dan gw sama sekali ga menduga bahwa jalanan di Bali bakal segila ini. Naik-turun ga jelas, bahkan kalo gw boleh lebay dikit, kagak ada jalanan yang lempeng. Cuma dua, kalo ga nanjak, ya turun. But, satu hal yang gw salut dari Bali adalah sosial-budaya nya. Tak ada satu rumah dan bangunanpun yang tanpa 'mini pura'nya (apa itu namanya, tempat buat naro persembahan dan doa). Antar masyarakat juga terlihat rukun dan bersahabat. It's just great i think. Sesuatu yang sangat langka didapetin di Jakarta. Jalan sepanjang Negara-Tabanan gw lewatin dengan napas setengah-setengah, karena ga ada kesempatan buat narik napas lebih panjang. Jalanan yang asoi, memaksa gw untuk berhenti setiap 5km, paling jauh 7km. Alhasil, kalo waktu di Jawa dalam sehari gw bisa menempuh jarak minimal 200km, sampe jam 5 sore hari itu, gw baru sampe di Tabanan, sekitar 120km. Sekitar jam 7 malem (atau sore, soalnya jam 7 di Bali masih kayak jam 5 di Jakarta), akhirnya gw sampe di Denpasar, muter-muter ga jelas, cuma ga mau turun dari sepeda, saking berterima kasihnya gw sama Channel karena udah nganter gw sejauh ini.

    Hari ketujuh, hari kedua di Bali, gw habiskan waktu pagi gw di pantai Kuta. Satu hal yang gw rasakan saat di Kuta, 'Apa istimewanya Kuta dibanding pantai-pantai lain?'. Karena i think, pantai-pantai di Jogja jauh lebih bagus, Sawarna jauh lebih maknyus. Jujur saja, gw pikir pantai Kuta tak seindah ceritanya. But nevermind, gw tetep menghabiskan waktu di pantai Kuta selama dua jam, menikmati matahari yang ngebakar kulit gw, yang sejatinya udah gosong dari kemarin-kemarin. Hehe. Selepas dari Kuta, gw dan Channel menuju Garuda Wisnu Kencana. Orang Bali sangat kreatif gw pikir. Gimana engga, bukit yang penuh dengan bebatuan keras, dipoles-diukir menjadi kawasan yang aduhai. Ga hanya itu, GWK juga menjual budaya Bali dengan cara yang elegan. Kalo di Jakarta misalnya ada pementasan tari tradisional, bisa dipastikan ga banyak yang bakal nonton. Tapi di GWK, cuma berbekal pengumuman : 'akan dipentaskan tarian tradisonal Bali di aula bla bla bla', semua orang langsung berbondong-bondong dateng. Tariannya pun ga ngebosenin, sangat menarik lah menurut gw. Gw bahkan nonton tarian yang sama 2 kali berturut-turut, dan tetep ga bosen.

    Dari GWK, gw gowes lagi ke ujung selatan Bali menuju Uluwatu. Tujuan gw ada dua, yaitu Pura Luhur Uluwatu dan Pantai Panjang-Panjang.  Perjalanan ke Uluwatu sangat tidak mudah. Kalo tadi gw bilang, jalanan di Bali secara umum 'gila', maka menuju Uluwatu ini 'idiot'. Nanjaknya ga tanggung-tanggung, walopun turunannya juga ga pake diskon. Capek, tapi seru. Pura Luhur Uluwatu adalah salah satu best spot di Bali gw bilang. You can see some great view from there. No other word but great. Pantai Panjang-Panjang tak kalah mempesonanya. Kalau di Pantai Kuta akan ditemukan turis dewasa cenderung tua, maka di Pantai Panjang-Panjang adalah basecampnya turis muda. Tak ada satupun turis berusia lanjut yang terlihat disana, karena selain track kesononya yang naudzubillah, Pantai Panjang-Panjang yang ombaknya asoi buat surving, memang lebih cocok buat kaum muda ketimbang mereka yang usianya udah lanjut. Gw termasuk yang muda, tapi naas ga bisa surving. Sigh. Dari Uluwatu, gw balik ke Kuta, menikmati sunset di Pantai Kuta. Some great view, some great moment.


    The next day saatnya menjelajah Bali kawasan agak tengah, Ubud dan Gianyar. Oya, di hari yang sama kebetulan di Bali lagi ada perayaan Kuningan (atau Galungan?), jadi selain bisa menikmati alam Bali, gw juga bisa melihat budaya Bali. Betapa beruntungnya gw. Jujur aja, sebagai seorang muslim gw agak syok dan gegar budaya ketika melihat banyak orang di tengah jalan nyembah-nyembah patung di depannya, sambil nyalain dupa dan nyebar kembang. But it's just fine, karena kita punya keyakinan yang berbeda, asal kita saling menghormati, tak ada masalah. Yang tak terlupakan dari perayaan ini adalah banyak anak-anak muda, ga cowok ga cewek, dengan pakaian adatnya, bawa-bawa persembahan, berdoa, ah, it's just wonderfull, mengingat tak banyak kita temui para pemuda, khususnya di kota-kota besar yang masih mau make pakaian adat, melakukan kegiatan-kegiatan adat, dan something like that. Malahan bangga banget kalo udah bisa ikut ngerayain Hallowen atau Valentine, ketimbang ikut kirab budaya misalnya. Ah, sekali lagi ah.

    Di Gianyar gw juga mampir ke Bali Bird Park. Even bayarnya agak mahal untuk ukuran kantong gw, tapi gw rasa cukup sepadan jika dibandingkan dengan pengalaman yang gw dapet di sana. Ga kayak di kebon binatang, yang hewannya pada dikandangin semua, di Bali Bird Park kita bisa bercengkerama secara langsung dengan burung-burung itu. Yang jadi masalah palingan cuman pas gw ngedeketin burung-burung disana, mereka malah pada kabur. Apa mau dikata, mungkin  gw terlalu cakep.
 

    Well, kalo mau jujur gw masih pengen menjelajah Bali dengan Channel. Gw belum ke Batur, Buleleng, dll. Tapi apa daya, waktu libur gw tinggal menghitung hari, jadi mau tidak mau gw harus mengakhiri kisah #go(w)esToBali sampai disini. Seperti yang udah pernah gw tulis di blog ini juga, Bali adalah tujuan akhir sepedaan gw ke arah timur. Itu artinya, target gw udah tercape. Dan karena target sepedaan ke arah timur udah tercape, maka saatnya membelokan stang sepeda ke arah barat. I think, #go(w)esToKL (Kuala Lumpur) is a must, sembari menguatkan mental, uang, dan segalanya untuk mimpi terbesar gw saat ini, #go(w)esToTokyo. Semoga Allah mengabulkan, dan pasti mengabulkan. Amin. Si ya,

No comments:

Post a Comment

Goals for 2024 !! Bismillah !