::: tunjukilah kami jalan yg lurus [QS 1:6] :::

Narasi Perjuangan Seorang Ibu

  Sudah dua malam ini, baik aku apalagi istriku, sudah tak nyenyak tidur. Istriku sibuk dengan rasa sakit yang dialaminya, aku pun sibuk dengan melakukan apapun agar rasa sakit yang dideritanya berkurang. Sungguh, kalau saja aku bisa menggantikan rasa sakitnya, aku rela. Ini bukan sekedar kata-kata indah untuk mempermanis tulisan pun ucapan, akan tetapi memang benar adanya, karena aku menyayangi istriku, tak tega rasanya melihatnya sakit tanpa henti. Sudah sejak jam 7 malam tadi hingga sekarang menjelang jam 12 malam, setiap 6-7 menit sekali dia melirih kesakitan. Sungguh, ini adalah pelajaran bagi para anak dan muda. Tak akan kau rendahkan ibumu jika sudah kau lihat bagaimana rasa sakit yang dialami istrimu. Begitulah beliau dulu saat mengandungmu. Maka, aku pun bisa menambahkan satu lagi daftar keutamaan menikah dan punya anak : AGAR KAU HORMAT KEPADA IBU BAPAKMU, dengan melihat sakit yang dialami separuh jiwamu, istrimu.

  Waktu terus berdetak, jam 02.00 istriku terkasih tak lagi kuasa menahan sakit yang dialaminya. Pun aku terus melihat jam bahwa jeda waktu sebelum rasa sakitnya pun sudah memenuhi syarat persalinan. Kini sudah di bawah 5 menit sekali rasa sakit itu datang dan pergi. Maka jam itu pula kami memutuskan untuk ke Rumah Sakit. Tak butuh waktu lama, karena jarak rumah dan rumah sakit pun tak jauh, dan jalanan sunyi sepi karena masih tengah malam. Kami langsung menuju ke ruang persalinan. Dokter yang menanangani kami sedari awal, Dokter Yudianto, pun sangat kooperatif. Jauh-jauh hari beliau sudah berpesan, kalau sudah waktunya, silahkan telpon saja, karena beliau standby di Jakarta. Tapi situasi sedikit berbeda karena menurut suster yang menemui kami, Dokter Yudianto sedang keluar kota. Aku mencoba untuk tenang, karena aku yakin istriku sudah tak tenang. Aku minta suster untuk menghubungi ulang Dokter Yudianto karena beliau yang bilang akan standby di Jakarta. Suster pun mencoba menghubungi beliau kembali. Setengah jam berselang kami mendapat informasi bahwa Dokter Yudianto akan datang ke RS dan saat ini sedang dalam perjalanan ke RS langsung dari bandara. Ternyata benar, Dokter Yudianto baru saja pulang dari Surabaya untuk urusan yang tak direncanakan sebelumnya. Sembari di perjalanan, Dokter memberikan istruksi-instruksi kepada para suster tindakan apa yang harus dilakukan.

  Setiap satu jam suster datang ke ruang bersalin dan mengecek level pembukaan. Ketika baru datang sudah pembukaan 3. Tapi hampir tiga jam berselang baru pembukaan 5. Sementara itu istriku sudah setengah sadar, dia sudah tak bisa berpikir lagi, karena hanya rasa sakit luar biasa yang dirasakan. Hingga jam 05.00 Dokter Yudianto tiba di rumah sakit dengan membawa koper di tangan kanannya dan oleh-oleh di tangan kirinya. Dokter langsung bergegas mengecek kondisi istriku dan memutuskan untuk memberikan semacam obat perangsang agar cepat pembukaannya. Kami sudah baca-baca sebelumnya dan efek obat ini akan memberikan rasa sakit yang lebih dari sebelumnya. Tapi jika tidak dilakukan, akan lebih beresiko karena artinya sang calon ibu harus merasakan sakit yang jauh lebih lama. Maka tak lama kemudian istriku semakin kencang menarik tangan dan leherku pertanda dia mengalami sakit yang luar biasa, akan tetapi memang level pembukaannya naik signifikan. 

  Detik-detik menjelang melahirkan menjadi titik tegang semua orang. Aku sudah meminta Mama (Ibu mertua) untuk keluar ruang bersalin beberapa saat yang lalu karena aku tahu beliau mudah terbawa perasaan dan tak akan tega melihat putrinya merintih kesakitan. Istriku sendiri semakin tak bisa mengontrol dirinya. Bahkan untuk mengatur nafasnya saja dia tak tahu bagaimana caranya. Sehingga untuk urusan bernafas, aku minta dia untuk mengikuti gerak nafasku. Kalau aku bernafas panjang, ikuti nafas panjang. Kalau aku bernafas normal, ikuti bernafas normal. Kalau aku mengejan, ikuti mengejan. Sehingga seolah aku tahu bagaimana melahirkan itu. Yang tidak aku tahu adalah bagaimana rasa sakit yang dialaminya. Aku hanya bisa mengira-ngira, tapi perkiraanku pun terbatas. Karena katanya batas level yang bisa dirasakan oleh orang dalam kondisi sadar itu berkisar di angka 16-20, sedangkan level sakit orang melahirkan itu bisa lebih dari 26 bahkan 32, katanya.

Tapi entah kenapa, aku tak merasakan ketegangan seperti 'cerita' teman-temanku saat menanti istrinya melahirkan. Bahkan tak sedikit para suami ini tak berani menemani istrinya melahirkan. Aku sendiri tak bisa seperti itu dan tak merasakan demikian. Tak bisa karena bagaimana mungkin aku meninggalkan istri yang sedang berjuang dengan rasa sakit yang luar biasa, sedangkan tak ada tempat mengaduh selain kepada suaminya. Tak merasakan, karena entah kenapa yang kurasakan adalah dua hal : satu, aku yakin istriku bisa dan mampu meskipun banyak orang (bahkan termasuk orang-orang terdekat kami), dan dua, yang muncul malah rasa ingin tahu bagaimana seorang manusia terlahir di dunia. Oleh karena dua alasan itulah, selama proses melahirkan itu, mataku tertuju cuma pada dua hal, yaitu kondisi istriku dan bagaimana bayi itu keluar dari rahim ibunya ke rahim dunia. Tak ada rasa takut, tak ada rasa tegang, tak ada rasa was-was.

  Jam 07.23 pada hari ini 19 Juni 2018, putri pertama kami lahir dalam kondisi fisik normal dengan berat badan sedikit kecil 2,7kg dan panjang 49cm, dan tangisan kecil sisa-sisa perjuangannya keluar dari rahim ibunya. Lahir dari seorang ibu yang hebat, kuat, tegar, dan sabar : Dessy Tri Anggraeni, istriku terkasih. Namanya Sabrina Azzahra Sakhi. Sabrina berarti sabar. Sebagai pengingat bagi kami, bahwa kami pernah berjuang dengan penuh kesabaran dan ketegaran dalam memperjuangkan ia. Sekaligus doa agar kelak ia bisa menjadi anak yang Sabr (Sabar), Zahra (Cerdas), dan Sakhi (rendah hati). Amiin.



No comments:

Post a Comment