Bahwa siklus hidup seseorang biasanya akan berulang, gw percaya. Mungkin Tuhan sengaja mengulang karena waktu itu kita belum lulus ujian. Jadi pengulangan ini semacam remidial agar mendapat nilai yang lebih bagus.
Persis apa yang telah dan sedang terjadi sama gw hari ini. Gw dari zaman SMP kelas 1 suka banget puisi. Bagi gw waktu itu puisi itu sesimpel curhat aja. Bercerita jujur tentang apa yang kita rasakan. Puisi bagi gw waktu itu bisa lebih mewakili suasana hati yang kadang hiperbolic, yang kalo disampaikan lewat cerita narasi kurang dapet feelnya. Puisi bisa.
Menginjak SMA, gw masih suka berpuisi, tapi gayanya totally berubah. Waktu SMA ketika diksi-diksi gw udah mulai banyak, puisi itu ga hanya bercerita, tapi juga tentang keindahan. Oleh karenanya penggunaan majas, rima, dan lain-lain itu ada banget. Tapi puisi gw mulai kehilangan maknanya.
Puncaknya adalah ketika kuliah, puisi gw semakin teknis. Penuh dengan perumpamaan, diksi-diksi aneh, dan tentu saja rima. Tapi gw ngerasa, puisi ini ga jujur. Hanya ngejar teknis aja. Oleh karenanya, waktu kuliah, gw pindah lagi nulis narasi. Nulis di blog. Karena waktu itu gw udah ga mungkin lagi cerita pake puisi. Puisi gw waktu itu ga lebih dari penulisan penuh teknik yang indah. Tapi tak bermakna.
Lama kemudian gw ga nulis puisi lagi. Pun kemudian dibarengi ga nulis blog pula. So, everything hanya muter-muter di kepala aja, tapi ga bisa keluar. Seperti yg gw ceritain di post sebelumnya.
Tapi seakan roda berputar, hari ini gw kembali harus berhadapan dengan puisi, atau mungkin lirik, mungkin. Gw lagi seneng-senengnya dengerin lagu-lagunya Panji Sakti. Kemudian menyusul Raim Laode, Sal Priadi, dan sebagainya. Yang, menurut gw, secara lirik itu keren sekali. Dan ketika dibawain lewat lagu, ya tambah keren. Walaupun kalo didengar dengan seksama, nada-nadanya mirip-mirip. Tapi d point is lyric. Gw terpukau dengan lirik-liriknya yang terlihat sederhana, tapi tidak sederhana. Terlihat biasa, tapi indah. Dan satu lagi yang penting, ketika gw baca atau denger background story nya, itu sempurna.
Gw aja sampe bingung, kok bisa gw nangis denger lagu anak-anaknya Panji Sakti yang "Agar-agar". Gw putar lagi, dan gw nangis lagi. Gw nyanyiin sendiri, sampe gw ga bisa nyanyi lagi. Gini liriknya kira-kira.
Ketika gw nyanyiin lirik pertama dari lagu ini aja gw udah terharu. Inget Ibu di rumah. Inget waktu-waktu kecil Ibu masakin ini-itu (ga harus agar-agar), inget masa-masa ketika dunia kita adalah orang tua. Dan gw kebayang, apakah nanti anak-anak gw, ketika udah gedhe, merasakan apa yg gw rasain hari ini. Kerinduan kepada orang tua, atau malah mereka ga mau inget ke gw, karena gw ga bearti di mata mereka".
Kalimat-kalimat ini Hanya memperjelas lirik pertama.
Disini gw terharu lagi, kadang nangis juga. Bahwa cita-cita seorang anak itu sederhana. Ingin sepandai, sehabat, sekeren ibunya atau ayahnya. Kalau dibalikin ke gw, "ya gw pengen sekeren bapak ku". Di mataku hari ini, bapaku yang sebulan lagi pensiun itu keren sekali. Pengorbanan, kesabaran, ketabahan, keikhlasannya luar biasa. Gw pribadi ingin seperti beliau. Lantas sekarang pertanyaannya, ketika hari ini gw udah jadi orang tua, apakah anak-anak ku juga bercita-cita "jika sepandai Ibu/Ayah?". I don't know. Yang jelas itu adalah kalimat yang bagi gw penuh makna.
Di lirik ini gw kebayang, bahwa setelah anak selesai dengan orang tuanya, merasa sudah "sepandai Ibu", maka orang-orang yang bakal dia undang adalah "kawan-kawannya". Bukan orang tuanya lagi. Artinya, nanti setelah anak-anak sudah merasa "selesai dengan orang tua sebagai dunianya", ketika anak udah mulai remaja, anak akan punya dunianya sendiri, yaitu dunia dengan teman-temannya. Dan saat itu terjadi, gw, kita, sebagai orang tua harus siap merelakan anak kita pergi dengan dunianya. Bahkan mungkin di kasus terburuknya, harus rela untuk dilupakan. Karena saat itu datang kita udah ga bisa relate lagi dengan anak-anak kita.
Well, mungkin gw lebay memaknai lagu ini. Atau terlalu overthinking. Tapi itu yang gw rasain setiap kali gw nanyiin lagu ini sembari naik motor pergi/pulang kerja. Dan udah mau sebulan ini gw belum bosen. Dan sesekali masih terhenti untuk sekedar menyeka air mata.
Dari lirik lagu agar-agar ini gw belajar bahwa puisi, lirik, narasi seharusnya tidak sekedar diksi, rima, makna, cerita, atau latar belakang cerita. Tapi lebih dari itu adalah rasa. Rasa adalah ketika kita mendengar, membaca dan kemudian saat itu juga kita terbawa dan terlibat dalam theather of mind yg terbentuk. Sama seperti gw baca "Ibuku pandai membuat agar-agar", saat itu juga langsung terbentuk Theather of Mind, di dalam rumah, saat kita masih kecil, kita bercengkerama dengan Ibu untuk dibuatkan agar-agar. Gambarannya jelas dan rasa rindu itu datang seketika. That's a perfect story.